Reporter : Hari purnomo
Fotografer : Sugeng Wibowo
Editor : Putra Pancan
_________________________________
Banyuwangi (kabarpas.com) – Festival Gandrung Sewu kembali digelar di bibir Pantai Boom, Banyuwangi, Minggu (08/10/2017). Atraksi budaya tahunan ini menyajikan penampilan kolosal 1.286 penari Gandrung, tarian khas Banyuwangi yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas mengatakan, sejak digelarnya pada tahun 2012, Festival Gandrung Sewu telah menjadi sarana bagi tumbuhnya rasa bangga warga terhadap Seni Budaya. Wisatawan pun merespons positif acara tersebut, hal ini terbukti dengan adanya ajang tersebut tiap tahunnya dihadiri oleh ribuan wisatawan.
“Festival tersebut terbukti menjadi instrumen ampuh untuk memperkenalkan seni budaya daerah ke publik global. Sekaligus ini menjadi bagian dari regenerasi pelaku seni,” ucap Bupati Anas kepada Kabarpas.com biro Banyuwangi.
Festival Gandrung Sewu 2017 merupakan salah satu Festival dari 72 Festifal Banyuwangi, Ribuan masyarakat banyuwangi telah memadati pantai Boom. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Gandrung Sewu membawakan sebuah tema yang menceritakan perjuangan Gandrung sebagai pejuang di zaman Belanda. Berbeda dengan kali ini Gandrung Sewu membawa tema ‘Kembang Pepe’.
Kembang Pepe adalah sebuah gending (lagu) pada pertunjukan Gandrung saat ini. Gending ini memiliki arti dalam perjuangan Gandrung saat melawan Belanda. Karya sastra yang diketahui diciptakan sekitar tahun 1775-1776 ini, merupakan kelanjutan dari gending ‘Seblang Lukinto’ yang menjadi tema Gandrung Sewu tahun sebelumnya.
Saat ditemui wartawan Kabarpas.com biro Banyuwangi, Plt. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, M. Yanuarto Bramuda mengatakan, Gandrung Sewu kali ini memilih topik Kembang Pepe, Dimana hal ini menceritakan tentang perjuangan pejuang Blambangan yang sedang melakukan perang melawan Belanda.
“Mereka bergerilya dan membunuh Belanda dengan tipu daya muslihat. Mereka menggelar pertunjukan Barong dan Gandrung, yang kemudian mereka mengajak Belanda minum minuman keras. Setelah teler, mereka kemudian membawa pasukan Belanda ke laut dan ke Gunung, untuk dieksekusi,” ujar Yanuarta Bramuda kepada wartawan kabarpas.com biro Banyuwangi
Bramuda menambahkan, Syair Gending Kembang Pepe jika diartikan secara gamblang terlihat saru. Menceritakan tentang pengantin baru yang sedang memadu kasih (bersetubuh). Namun cerita itu hanyalah sebuah ‘kode’ atau isyarat yang hanya dimengerti para pejuang terdahulu. Ini sengaja disembunyikan, agar tidak dimengerti oleh para penjajah dan antek penjajah.
“Memang antara surat dan yang tersirat berbeda. Itu syair tersembunyi yang di lantunkan dalam gending kesenian Gandrung,” tambahnya.
Atraksi budaya tahunan ini menyajikan penampilan kolosal 1.286 penari Gandrung, tarian khas Banyuwangi yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya.
“Sedikit arti dalam syair gending Kembang Pepe itu, kita jangan terlena seperti pengantin baru, mari kita menikmati pengantin baru untuk mencari momongan. Jika diartikan lewat kode adalah waktunya bergerilya untuk mencari Belanda untuk dibunuh dan buang ke laut dan gunung. Arti lare dakon itu ya Belanda untuk dibantai,”pungkasnya. (har/put).