Menu

Mode Gelap
Wujudkan Mimpi Pebasket Muda Jatim, MPM Honda Jatim Gelar Honda DBL 2023 East Java Series Dukungan Mas Dion Maju Cabup Pasuruan 2024 Kian Masif

Ruang Sastra · 6 Jun 2021 20:19 WIB ·

Dialog dalam Pelarian


Dialog dalam Pelarian Perbesar

Oleh: Abdur Rozaq

KABARPAS.COM – SETELAH sarapan dan menyeruput kopi, kuhabiskan dua batang rokok di teras depan. Kericik air kolam, cericit love bird bahkan lekuk-lekuk bonsai di halaman, entah mengapa akhir-akhir ini sudah tak membuatku tertarik. Dulu, kudesain taman ini dalam rangka membohongi diri, bahwa alam di sekitar komplek tak seberapa gersang. Pagar besi dan paving di sepanjang gang, residu jalanan, kebisingan serta kesumpekan khas urban, kukira dapat diredam taman kecil ini. Ternyata benar kata orang, sesuatu yang tak asli akan cepat membosankan. “Manusia bisa saja membohongi dirinya sendiri, tapi realitas selalu lebih jujur,” ujar Gus Hasyim suatu kali di warung Lik To. Atau, jangan-jangan aku memang seorang pembosan?


Sejak pandemi mewabah dan harus bekerja di rumah, kegelisahan kian menjadi-jadi menyiksaku. Seringkali aku berhayal bisa pergi ke suatu tempat yang masih asri. Dalam mimpi, berkali-kali aku kembali ke masa kecil. Mandi di sungai, bermain ke kebun, memukat ikan atau burung. Demi harapan mustahil itu, aku bergabung dengan group-group nostalgia masa kecil di media sosial. Sedikit menghibur, namun lebih banyak mengorek luka. Kutangisi alam yang kian sekarat dan manusia yang semakin tak manusiawi.


Ketika tiba-tiba menjamur komunitas bersepeda, aku ikut-ikutan. Kapan lagi bisa latah seperti ini. Toh, bersepeda sangat baik bagi jantung perokok gila sepertiku. Menjelang kepala empat aku memang harus menghemat nyawa. Meski kematian begitu pasti, aku tak ingin cepat-cepat sekarat di atas ranjang. Namun, tujuan utamaku bersepeda adalah petualangan ke dusun-dusun terpencil untuk melarikan diri ke masa silam.


Kuseruput cairan kopi terakhir di gelas. Setelah uluk salam kepada istri, kukayuh sepeda perlahan-lahan. Melewati gang ternyata banyak juga tetangga yang hendak berangkat bersepeda entah kemana. Di warung Lik To, kulihat Ustadz Hasyim sudah nongkrong di sana. Seperti biasa, ia pasti akan mengajak lawan bicaranya mengobrol ngalor-ngidul, bercerita ini-itu mengkaji kearifan hidup.


Sepanjang jalan, entah mengapa ucapan Ustadz Hasyim di warung kemarin seakan masih terngiang jelas di telinga. Timbul tenggelam tertimpa suara angin yang berseluit di antara daun telinga dan tali helm. “Ternyata wabah ini banyak hikmahnya,” ujarnya saat itu. Kukayuh sepeda pelan-pelan karena mulai terjadi perdebatan sunyi dalam hati.
“Hikmah? Hikmah apanya?” protes sebuah suara mencibir ucapan Gus Hasyim itu.


“Pasti ada hikmahnya, kau saja yang tidak bisa mengambil pelajaran dari semua peristiwa.” Suara yang lain malah membela Gus Hasyim.
“Ribuan orang mati, jutaan orang jatuh miskin, politisasi wabah, konspirasi, bisnis kematian, pencurian bansos, hutang negara, jangan-jangan ini hanya agenda antek dajjal?”


“Kamu paranoid sekali. Banyak termakan hoax di dunia maya rupanya?” Perdebatan terputus karena ban sepeda selip dan aku hampir terjengkang di tepi aspal. Kukayuh kembali sepeda setelah mendapat keseimbangan.
“Sekali wabah ya wabah. Ini bencana internasional, dan bisa-bisa hanya karena perang dagang antara negara besar sialan itu.”
“Jangan asal tuduh, wong keduanya sama-sama terjungkal oleh pandemi ini. Cobalah sportif untuk mengakui kesalahanmu sendiri.”
“Apa, kesalahanku?”
“Ya, kesalahanmu dan rasmu. Kalian kan, bisanya hanya merutuki bencana? Sementara nikmat pemberian Tuhan tak pernah kalian syukuri?” Perdebatan kembali terhenti oleh sebuah mobil yang melaju ugal-ugalan. Hampir saja aku terserempet andai tak cepat-cepat menepi. Wah, kini ternyata berbahaya juga mengayuh sepeda di jalanan kampung. Mentang-mentang aspal sudah mulus, orang bisa berkendara seenak perutnya sendiri.
“Tuh kan, baru tahu sekarang? Selama ini kau lebih banyak mengendarai mobil, jadi belum tahu bagaimana perasaan tukang becak, penjual sayur atau pemotor yang kau salip dengan ugal-ugalan.”
“Sialan, kau terus mengkritikku sejak tadi.”
“Kalau bukan aku, dirimu sendiri, siapa lagi yang berani mengkritikmu?”
“Sudah, jangan ngoceh terus!”
“Awas kalau ada apa-apa minta pertimbanganku!”
“Ya bukan begitu. Setidaknya kau jangan terus menghakimi dirimu sendiri.”
Jalanan perlahan sepi setelah aspal mulus terputus. Ban sepeda kini melaju di atas paving yang dipasang asal-asalan. Ini pasti dikerjakan sekenanya agar cepat rusak, dan beberapa tahun ke depan bisa diajukan proyek lagi untuk menghamburkan dana desa.
“Jangan terlalu berburuk sangka begitu. Bisa jadi ini karena kontur tanahnya. Kau lihat, di kiri kanan ada retakan tanah?”
“Ini bukan karena kontur tanahnya. Wong sepanjang mata memandang banyak tumbuhan. Ini daerah subur, hanya saja paving rusak oleh truk yang setiap saat mengangkut batu dan pasir dari penambangan, dan pemasangannya pun asal-asalan.”
Sepeda makin jauh menyusuri jalanan kampung. Mulai terdengar kicau prenjak dan perkutut liar di pepohonan.
“Sudah tak seperti dulu,” bathinku. “Pepohonan banyak ditebang tanpa ditanami penggantinya. Burung-burung liar banyak dipukat lalu dijual ke pasar burung. Di negara-negara asing sana orang melestarikan satwa, di sini orang menembaki burung entah untuk apa.”
“Ya salah kalian sendiri. Kenapa setiap kali pemilu selalu memilih orang yang salah?”
“Memangnya aku wali yang bisa mempengaruhi orang untuk memilih pemimpin yang benar?”
“Ya setidaknya, kau gembar-gembor agar orang jangan mau disogok.”
“Berat! Sudah jadi budaya soalnya.”

Aku hampir tak percaya ketika menemukan sebuah sungai kecil berair jernih mengikuti kelokan-kelokan jalan paving. Benarkah masih ada sungai tanpa botol plastik, popok pabrik dan sampah seperti ini? Apakah aku tersesat ke alam lelembut? Sebab ini mustahil ada di alam nyata di negeriku. Kawanan ikan wader yang berenang di lubuknya, membuat hatiku bersorak kegirangan. Kukayuh sepeda lebih cepat untuk segera menemukan hulu sungai kecil itu. Di depan sana, pasti ada sebuah mata air di kelilingi batu-batu besar dan pepohonan rindang. Aku akan beristirahat sejenak di sana. Mengambil beberapa foto dan kuunggah di dunia maya. Andai pemilik lahan bersedia menjualnya, aku rela melelang beberapa kavling tanah untuk menebusnya.

Aku mengumpat sejadi-jadinya karena mata air yang kuhayalkan itu ternyata sumur artesis buatan. Seorang bangsat, tak peduli dengan alasan apapun, mengebor air tanah hanya untuk dibuang percuma.
“Mengapa ketololan bangsa ini tak juga berakhir setelah beberapa puluh tahun merdeka?” umpatku dalam hati.
“Hei, jangan keburu mengumpat dulu. Lihatlah, mereka menggunakannya untuk mengairi kebun dan sawah.”
“Salah sendiri hutan dan gunung digunduli. Salah sendiri lereng-lereng bukit ditambang?”
“Lha memangnya mau membangun pakai apa kalau tidak menebang kayu dan menambang pasir dan batu?”
“Setidaknya ada reboisasi atau bagaimana.”
“Konon pabrik air minum sudah melakukannya.”
“Pasti hanya formalitas! Itupun tak sebanding dengan jutaan barel air tanah yang mereka jual.”
“Jangan hanya menyalahkan perusahaan. Mereka takkan berani mendirikan pabrik di sini jika tidak direstui pemerintah lokal. Salahmu sendiri selalu salah pilih setiap kali pilkada.”

Karena kecewa, aku tak jadi berhenti di sumur artesis buatan itu. Kulanjutkan perjalanan meski betis mulai terasa letih. Aku terus mengayuh sepeda ke kedalaman kampung. Paling tidak, ingin kihurup udara segar, wangi bau jerami serta celoteh para petani di sawah. Namun, harapanku juga tinggal keinginan hampa. Bekas-bekas sawah sepertinya baru saja diurug dengan sirtu. Di atasnya menancap tiang baliho bertuliskan “tanah kavling”.
“Ini kan seharusnya area pertanian, kenapa diizinkan jadi area pemukiman?” tanyaku pada diri sendiri.
“Lha mau bagaimana lagi, wong penduduk memang makin banyak? Pasangan-pasangan muda melahirkan anak. Bahkan yang belum punya pasangan pun banyak juga yang punya anak.”
“Mbok ya transmigrasi atau bagaimana? Paling tidak, ikut program rumah susun atau semacamnya.”

Perdebatan terjeda oleh segerombolan bocah-bocah yang menggeber knalpot motor mereka. Melesat ke arah selatan meninggalkan asap tebal. Hingga puluhan meter di depan sana, suara knalpot itu masih memekakkan telinga. Aku kecewa karena di pelosok seperti ini pun, anak manusia juga tak kalah brutal.
“Lima belas tahun ke depan mereka yang memimpin kita. Bisa jadi di antara mereka kelak menjadi camat, bupati, anggota DPR bahkan menteri.”
“Ah, mana mungkin?”
“Ah, kamu. Anak-anak pintar di negeri ini kan, paling banter jadi guru atau dosen?”
Setelah melewati sebuah tikungan, kulihat sebuah warung berdinding tabing bambu. Kukira inilah satu-satunya tempat menenteramkan dalam pelarianku kali ini. Barangkali saja, aku bisa mengobrol dengan para petani yang baru pulang dari sawah. Berbasi-basi penuh keakraban tentang apa saja. Aku segera berhenti dan memarkir sepeda tepat di depan warung. Segelas kopi, semilir angin sawah, rindang daun bambu serta keramahan orang-orang di sana kiranya bisa sedikit mengobati rasa kecewa.

Kupesan segelas kopi seraya mencari-cari tempat duduk paling nyaman. Di belakang warung ternyata berjajar beberapa lincak kecil. Kusapa beberapa pemuda yang sejak tadi duduk menikmati kopi di sana. Seraya menunggu kopi diantar pemilik warung, kucoba berbasa-basi sekedarnya. Aneh, mereka malah menatapku dengan tajam. Dari sorot mata dan bahasa tubuhnya, kurasa mereka keberatan dengan kehadiranku. Sekilas aku terhenyak menyadari sebuah gagang celurit menyembul dari balik jaket salah satu pemuda itu. Namun, aku mengumpat setelah tahu mereka sedang menggilir sebuah bong dari botol plastik.

Bakalan, 13 Agustus 2020. (***).

Artikel ini telah dibaca 10 kali

Baca Lainnya

Sang Pemenang

8 Desember 2024 - 19:55 WIB

Pasrah Menanti

28 Januari 2024 - 22:38 WIB

Senyummu

21 Mei 2023 - 20:34 WIB

Kekasih…

20 Maret 2022 - 23:56 WIB

Syahdunya Malam Tahun Baru

2 Januari 2022 - 01:27 WIB

Membersamaimu dengan Ikhlas Part-2

19 Desember 2021 - 21:53 WIB

Trending di Ruang Sastra