Oleh : Khilma Anis *
Kabarpas.com – SEJARAH lahir Novel Suhita lahir dari keisengan saya mengunggah cerita bersambung di facebook. Hehe.
Pada saat itu, pembaca mulai gusar menunggu kelanjutan Novel saya yang kedua, yang berjudul “Wigati”.
Novel Wigati ini risetnya lumayan berat, karena saya harus mengkaji soal Ajaran Ki Ageng Suryamentaram dan Keris Banten. Jadi saya yang penat butuh refreshing, lalu iseng menulis “Suhita” di wall pribadi.
Ternyata tanpa dinyana-nyana, cerbung ini dishare ribuan orang dan dinikmati oleh masyarakat luas.
Judul Suhita saya ambil dari nama seorang perempuan yang pernah berkuasa di Kerajaan Majapahit.
Saya memang fokus menulis tentang perempuan, pesantren, dan Filosofi Jawa. Sebab sejauh yang saya tahu, biasanya kajian pesantren dan Jawa berdiri sendiri-sendiri. Tidak terpaut. Tidak berhubungan. Padahal sebenarnya sangat erat bahkan intim.
Tiga novel saya berbicara tentang itu.
Tidak seperti Novel Wigati yang tokohnya wingit dan mistis, serta berbicara tentang dua buah keris, Suhita adalah novel yang berkisah tentang kisah rumah tangga di sebuah bilik ndalem pesantren.
Ini berangkat dari keinginan saya berbagi tentang ajaran nenek moyang yang penting, tapi sering lupa diajarkan di sekolah, ataupun pesantren, yaitu tentang pentingnya mikul duwur mendem jeru.
Ajaran ini penting karena menyangkut prinsip dasar berumah tangga, warisan dari nenek moyang.
Bekal kemampuan mengaji saja, tidak pernah cukup. Santri santri putri harus menguasai tentang mikul duwur mendem jeru ini.
Suhita juga memuat tentang prinsip pesantren yang mungkin tidak banyak diketahui masyarakat jawa, yaitu sakinah, mawaddah, wa rohmah wa maslahah.
Maslahah ini merupakan tujuan dari laku mendem jeru tokohnya tadi.
Suhita menjadi viral karena ajaran jawa ini dibungkus dengan romantika kisah cinta Gus Birru, Alina, dan Rengganis.
Gus Birru yang seorang putra kiai sekaligus aktivis. Alina yang berwatak brahmana karena pandai bertapa dan berdoa, hafal al Qur’an, tapi disiakan suaminya. Dan Rengganis yang berwatak ksatria, cantik, trengginas dan visioner, tapi ditinggalkan Gus Birru saat lagi saying-sayangnya demi sebuah perjodohan pesantren. Hehe.
Suhita dikenal publik sebagai novel pesantren yang tidak berisi satupun dalil, dan seluruh hikmah justru disampaikan melalui ajaran jawa.
Suhita juga dikenal sebagai novel pesantren beraliran baru yang tidak memiliki satupun tokoh antagonis, dan justru berisi sudut pandang beberapa tokoh.
Suhita juga dikenal publik sebagai novel pesantren yang membuat pembacanya berderai-derai air mata, sekaligus banyak belajar tentang budaya jawa dan wayang.
Suhita dikenal publik sebagai novel yang unik karena pembacanya terbagi menjadi banyak kubu:
Kubu Alina yang tetap sabar walaupun disiakan, dan tetap mengabdi pada pesantren mertuanya.
Kubu Rengganis yang tetap kuat walaupun ditinggalkan.
Kubu kang Dharma yang tetap santun dan teguh menjaga marwah kesantrian, meski tahu perempuan yang dicintai merana dan tidak bahagia.
Kubu Gus Birru yang yang tetep berdiri tegak demi titah kedua orangtuanya walaupun hatinya remuk redam karena menjalani kehidupan rumah tangga dalam keterpaksaan.
Beberapa orang juga belajar dari Aruna, sahabat yang baik dan jernih. Juga Ummik yang bijaksana.
Saya menyukai berbagi gagasan lewat sastra, dalam hal ini novel, sebab jangkauan sastra lebih luas.
Seperti novel Suhita, dia sudah terjual hampir 50 ribu eksemplar. Dan dibaca semua kalangan. Itu artinya sudah sebanyak itu pembaca menerima ajaran tentang mikul duwur mendem jeru. Tentang birrul walidain.
Bagaimana merelakan yang bukan takdirnya. Bagaimana mencintai dalam diam. Dan gagasan pemerataan jurnalistik di pesantren pesantren pelosok seperti aktivitas Gus Birru. Termasuk inisiatif Gus Birru untuk membuat penerbitan dan percetakan sekaligus kafe dengan suasana yang dialektis.
Pembaca Suhita mulai memahami bahwa dunia pesantren dan dunia jawa sesungguhnya tidak terpisahkan.
Di satu sisi, Suhita mengajak pembaca dari kalangan non pesantren, untuk mengenal ajaran ajaran pesantren, tentang kekuatan perempuan yang tinggal di balik tembok besar pesantren dalam mendidik santri, dan memajukan peradaban lewat pendidikan agama dan pembelajaran ilmu hidup.
Di sisi lain, Suhita mengajak orang orang pesantren untuk mengenal dunia jawa. Bahwa di dalam Falsafah Jawa, ada banyak sekali ajaran yang harus selalu kita amalkan. Seperti mikul duwur mendem jeru. Bekti nastiti ati ati. Pengabsah Wangsa. Wanita adalah wani tapa. Dan lainnya.
Suhita mengajak pembaca untuk memahami bahwa sejak semula pesantren dan jawa adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Di dalamnya memuat tentang kisah Mbah Kiai Hasan Besari. yang merupakan guru dan kiai dari Ranggawarsita, pujangga Jawa.
Suhita mengajak pembaca yang masih awam jadi tertarik untuk berziarah ke makam makam waliyullah seperti ziarah Wali Songo, ziarah Mbah Mutamakkin, Mbah Soleh Darat, Ki Ageng Hasan Besari, Mbah Sunan Tembayat, dll.
Suhita yang sederhana disukai Pembaca karena ‘it’s so us”, sangat kita.
Siapapun yang membaca, akan merasa menjadi salah satu dari tokohnya. Hehe
Pemasaran Novel
Suhita dipasarkan secara indie. Penerbit saya sendiri. Suami saya yang menjadi dirutnya. Hehe.
Suhita dicetak di Jogjakarta lalu kami sendiri yang memasarkannya.
Suhita tidak ada di toko buku manapun.
Sistem penjualan Suhita adalah dengan membentuk agen agen di setiap kota. Dengan syarat mereka kulak sejumlah buku. Lalu agen-agen ini dipersilahkan membangun jaringan Reseller, Marketer, dan Dropshiper.
Jadi Suhita ini ditulis sendiri, diterbitkan sendiri, dan dipasarkan sendiri. Hehe.
Sampai saat ini, agen Suhita sudah 30 lebih di masing-masing kota. Lalu Reseller Suhita kalau ditotal kurang lebih 500 orang yang tersebar di seluruh penjuru. Promo Suhita hanya dilakukan di media sosial.
Agen agen Suhita seluruhnya adalah perempuan yang ingin mandiri secara finansial sekaligus ingin belajar menulis.
Saya secara berkala memberikan pendampingan kepada agen tentang strategi pemasaran penjualan buku, dan tentang penulisan.
Belakangan, Saya pelan-pelan mulai mengenalkan kearifan ajaran nenek moyang pada masyarakat pesantren.
Suhita memiliki sekoci bisnis dalam bidang craft, seperti bross wayang, tas wayang. mukena dan gelang dengan quotes falsafah jawa, yang pembelinya rata-rata adalah orang pesantren.
Dulu orang orang pesantren banyak yang tidak tertatik dengan wayang. Bahkan banyak yang tidak tahu bahwa wayang gubahan para wali bisa begitu apiknya.
Dulu beberapa orang alergi memakai simbol wayang. Sekarang pembaca Suhita mulai mengenal wayang dan ingin banyak belajar.
Suhita dan seluruh pemasarannya, berangkat dari wasiat almarhum abah mertua saya, yang juga merupakan ajaran turun temurun Mbah Sunan Kudus.
Yaitu Gus Jigang (Bagus, Ngaji, Dagang)
Baguso (kalau bagi saya dengan cara mengamalkan ajaran jawa dari nenek moyang),
Ngajiyo (kalau bagi saya, menulis novel adalah ngaji dalam bentuk lain) dan Dagango (seperti ajaran kanjeng nabi)
Suhita hanyalah novel sederhana, yang kebetulan ditulis oleh seorang santri, yang ditangkap dan dinikmati oleh jaringan pesantren pula.
Suhita beruntung karena lahir di era digital, jadi begitu cepat meluas dan dinikmati semua kalangan.
Suhita hanyalah pertanda bahwa santri, dari manapun asalnya, bisa menyampaikan gagasan dengan begitu luas dan leluasa.
Dan kalau berisi kebaikan , apa yang kita tulis bisa bernilai amal jariyah walaupun hanya berbentuk cerita fiksi. Hehe.
Oh ya, Suhita sudah dilamar produser untuk difilemkan.
Mohon doanya…
——————————————————————–
* Pengasuh PP An-Nur Jember, Alumnus PP As-sa’idiyah Bahrul Ulum Tambakberas, PP Ali Maksum Krapyak, Penikmat wayang, keris dan Budaya Jawa