Oleh DR.Karlina Helmanita, M.Ag
KABARPAS.COM – AMAL sebagai kata benda, artinya perbuatan yang baik atau buruk. Amal sebagai kata sifat berarti perbuatan yang merupakan pengabdian kepada Allah (ibadah); perbuatan baik untuk kepentingan masyarakat yang terus menerus dan tanpa pamrih (jariah); atau perbuatan yang sungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah (shaleh)—(KBBI). Kata amal ini dipinjamkan dari bahasa Arab, bermakna perbuatan, tindakan atau pekerjaan, dari kamus Alma’ani.
Karenanya, amal dalam makna sufistik Ibnu Atha’illah dituturkannya pada hikmah berikut:
مِنْ عَلاَمَةِ اْلِاعْتِمَادِ عَلَى اْلعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْد ِالزُّلَلِ.
min ‘alaamatil i’timaadi ‘alal ‘amali nuqshaanur rajaa-i ‘inda wujuuddiz zulali.
“Di antara tanda sikap mengandalkan amal ialah berkurangnya harap kepada Allah tatkala khilaf.”
Makna amal yang dimaksud di sini adalah amal ibadah, seperti shalat dan zikir. Ada 2 kelompok orang yang mengandalkan amal atau menggantungkan keselamatan dirinya pada amal ibadah (bukan pada Allah secara murni). Mereka itu adalah para ‘abid (orang yang tekun beribadah) dan para murid (orang yang menghendaki kedekatan dengan Allah).
Golongan pertama menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya sarana untuk meraih surga dan menghindari siksa neraka. Sementara golongan kedua menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya cara yang bisa mendekatkan diri kepada Allah. Kedua golongan ini sama-sama tercela, karena tindakan dan keinginan mereka terlahir dari dorongan nafsu dan sikap percaya diri berlebih… berbeda dengan orang yang mengenal Tuhan dengan baik (arif). Mereka tidak bergantung pada amal ibadah semata, karena sepanjang perjalanan dirinya, mereka tetaplah nihil, lemah, dan tak berdaya.
Baginya, tak ada beda saat benar ataupun salah, atau saat taat maupun khilaf. Rasa takut dan harapnya dalam kondisi tetap dan imbang. Kapanpun dan di mana pun sandarannya konstan, tanpa pamrih, puji, apalagi kuasa yang berbatas.
Karenanya, hikmah dari makna amal dari Ibnu Atha’illah ini mendorong para sâlik (peniti jalan menuju Allah) agar menghindari sikap bergantung pada sesuatu selain Allah termasuk bergantung amal ibadah, apalagi amal sosial. Amal sosial, seperti halnya amal ibadah, juga dapat memberi kepantasan untuk menjadi seorang yang ‘arif, sehingga langkah tiap amal menjadi mata rantai keikhlasan yang tidak bergantung pada pujian bagi perubahan semesta.
Salam amal untuk semua
Semangat “Pesantren Jendela Dunia”
Diparafrasekan dari:
Kitab ALHIKAM karya Ibnu Atha’illah as-Sakandari (Syarh Syekh Abdullah Asy-Syarqawi Al-Khalwati)- Terj. Iman Firdaus dalam Al-Hikam Pasal 1. (***).
_________________________________________________
*Penulis adalah dosen “membaca” teks-teks intra-interlingual Arab-Indonesia prodi Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus Founder Yayasan Sanggar Baca Jendela Dunia Tangerang Selatan.