Oleh: Dr. Karlina Helmanita, M.Ag
(Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Founder Yayasan Sanggar Baca Jendela Dunia Tangerang Selatan).
KABARPAS.COM – ‘MENDEKAT’ adalah kata kerja, artinya datang menghampiri, dalam KBBI. Padanan Arabnya أَقْبَلَ-يُقْبِلُ aqbala-yuqbilu, makna leksikalnya mendekati, datang, mendatangi, menuju atau menghadiri dalam al-Ma’any.
Dalam makna sufistik, menurut Ibnu Atha’illah kata “mendekat” mempunyai makna yang dalam seperti tuturannya berikut:
مَنْ لَمْ يُقْبِلْ عَلَى اللهِ بِمُلَا طَفَاتِ اْلإِحْسَانِ قُيِّدَ إِلَيْهِ بِسَلَاسِلِ اْلاِمْتِحَانِ.
“man lam yuqbil ‘alallahi bimulaathafaatil ihsaani quyyida ilaihi bisalaasilil imtihaani.”
“Siapa yang tidak mendekat kepada Allah, padahal sudah dihadiahi berbagai kenikmatan, akan diseret (agar mendekat) kepadaNya dengan rantai cobaan.”
Secara denotatif, makna “mendekat” di atas merupakan suatu upaya bergerak untuk menghampiri, dan datang untuk mendekati atau menghadiri seseorang. Dalam bahasa Ibnu Atha’illah makna kata “mendekat” ditujukan kepada upaya yang sungguh-sunguh “mendekat” dari seorang hamba kepada Tuhannya. Karenanya, bila seorang hamba tidak mendekat kepada Allah meski telah diberi berbagai kenikmatan akan dipaksa mendekat kepada Allah melalui berbagai macam musibah. Artinya, kedekatan seorang hamba kepada Allah terjadi melalui dua proses.
Pertama, dengan diturunkannya nikmat kepadanya sehingga dia bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut dan bersiap melayani-Nya. Kedua, dengan diturunkannya musibah yang menimpa tubuh atau hartanya sehingga dia akan berlindung kepada Allah dan meminta-Nya agar mengangkat musibah itu. Mungkin, itu akan menjadi sebab dia meninggalkan keduniaan dan hanya mau bergantung kepada Allah.
Allah menghendaki para hamba-Nya kembali kepada-Nya, baik karena sukarela ataupun terpaksa. Dengan kata lain, upaya untuk mendekat kepada-Nya adalah niscaya, bukan semata dilakukan kala kenikmatan dunia dicabut baru mendekat atau menunggu kala kenikmatan dengan gelimang harta atau ujian kala duduk di kursi kekuasaan, baru mendekat. Menunda untuk mendekat kepada-Nya pertanda berkurangnya rasa syukur yang harusnya dirawat, dibiasakan, dan menjadi karakter seorang hamba kepada-Nya.
Ibnu Atha’illah melanjutkan tuturannya “siapa yang tidak mensyukuri nikmat, akan kehilangan nikmat itu. Siapa yang mensyukurinya, berarti ia telah mengikat nikmat itu dengan tali yang kuat.”
Kata “mendekat” kepadaNya mempunyai makna yang dalam. Dengan mendekat kita sadar, kuasaNya segalanya. Keadilan Allah adalah kuasa-Nya untuk melakukan apa saja, tanpa ada yang bisa menahan dan melarang-Nya. Jika sifat adil Allah muncul di hadapan orang yang dibenci-Nya, kebaikan-kebaikan orang itu akan diabaikan dan dosa-dosa kecilnya akan dipandang besar.
Namun, jika sifat murah hati-Nya muncul di hadapan orang yang dicintai-Nya, semua kesalahan dan keburukannya akan diabaikan, sedangkan dosa besarnya akan dipandang kecil.
Oleh sebab itu, asy-Syadzili kerap berdoa, “Ya Allah, jadikan keburukan kami keburukan orang-orang yang Kaucintai dan jangan jadikan kebaikan kami kebaikan orang yang Kaubenci!”
Semoga makna “mendekat” tidak terbatas pada keinginan semata, namun melakukannya dengan harmoni kehidupan untuk menyatukan keinginan, hati, jiwa, raga, dan kesadaran untuk menjemput dan menghadiri Sangpecinta, Sangkekasih yang paripurna di tiap ruang-ruang kita. Aamiin.
Salam “mendekat” untuk semua. (***).
——————————————————————-
*Dr. Karlina Helmanita, M.Ag
Penulis adalah dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Founder Yayasan Sanggar Baca Jendela Dunia Tangerang Selatan.
Sessi makna ini disarikan dari Alhikam Ibnu Atha’illah as-Sakandari (Syarh Syekh Abdullah Asy-Syarqawi Al-Khalwati) Terj. Iman Firdaus, kitab pertama pasal 52 & 65.