Penulis : Abdul Rozaq, Pasuruan
(Kabarpas.com) – DALAM sejarah ada manusia tertentu yang riwayat hidupnya bisa terekam abadi bahkan jauh melampaui masa hidupnya itu sendiri. Rekaman tersebut bisa berupa track record positif, bisa juga negatif.
Semakin luar biasa dan istimewa sepak terjang seseorang selama hidupnya, makin panjang ia dikenang oleh sejarah sepeninggalnya. Nabi Adam AS misalnya, meski beliau telah wafat sekitar tiga ribu lima ratus tahun yang lalu, hingga kini, bahkan mungkin hingga kelak menjelang ahir zaman akan tetap dikenal orang.
Demikian juga Kan’an putra nabi Nuh, Azar ayah nabi Ibrahim serta Abu Lahab paman nabi Muhammad SAW, hingga kini masih tetap hidup dalam catatan-catatan hitam sejarah.
Meminjam analisa Emha Ainun Nadjib, seorang anak manusia mempunyai kemungkinan untuk dilahirkan kembali 10, 100, 1000 tahun atau sekali dalam kehidupan dunia. Manusia sekaliber nabi Muhammad SAW, hanya sekali diciptakan dan diturunkan ke dunia. Manusia sekaliber Syaikh Abdul Qodir Jailani, mungkin seribu tahun sekali diciptakan serta ditugaskan di bumi Allah.
Bagaimana dengan Mbah Kiai Abdul Hamid Pasuruan? Wallahu a’lam. Yang jelas, kewalian beliau sudah diakui oleh banyak wali lain yang notabene sudah mendapat legalitas untuk menstempel kewalian seseorang.
Seperti kita tahu dari banyak literatur maupun cerita lisan, Mbah Hamid adalah salah seorang (insya Allah) wali abdal yang pengasih. Tidak seperti wali mastur yang sengaja menyembunyikan identitas kewaliannya kepada khalayak sebagaimana Mbah Ud Pagerwojo Sidoarjo, Mbah Hamid adalah wali yang jangkep dan tidak nyeleneh.(Tulisan ini bukan bermaksud menganalisa bagaimana seorang wali menjalankan tugasnya).
Pada masanya, Mbah Hamid adalah rujukan dari hampir segenap permasalahan umat. Mulai ulama, rakyat jelata hingga pejabat memerlukan sowan kepada beliau untuk meminta nasehat mengenai berbagai masalah mulai dari katagori genting hingga problema dalam hidup keseharian.
Umat tidak sungkan untuk sowan kepada Mbah Hamid sekedar untuk menanyakan kapan mesti ngeduk lemah mendirikan rumah. Cerita-cerita lisan mengenai hal itu bisa kita temukan hampir di berbagai penjuru Pasuruan hingga jauh di luar pulau sana. Gelar Mbah yang kita sematkan pada nama beliau pun, adalah indikasi bahwa beliau adalah mbah kakung umat, dan kita semua adalah cucu sejarah beliau.
Seakan mengesahkan seperti apa yang pernah dianugerahkan kepada nabi Muhammad SAW, bahwa beliau bukan hanya milik ahlul bait, melainkan milik alam semesta.
Mbah Hamid memang terkenal sebagai sosok yang akrab dengan lapisan umat mana pun. Bahkan setiap orang merasa diperlakukan secara istimewa karena sambutan beliau selalu hangat kepada siapapun.
Dalam memberikan jawaban serta nasehat kepada umat yang sowan untuk meminta nasehatnya, Mbah Hamid seringkali menggunakan bahasa kiasan –mungkin—agar si peminta nasehat tidak merasa digurui.
Ketika seorang ustadz mengeluhkan para santrinya yang tak semua tekun dan serius mengaji, Mbah Hamid malah mengajak Sang Ustdaz mengamati pohon kelapa yang sedang berbuah.
“Sampeyan lihat, apakah semua bluluk itu akan menjadi buah kelapa? Apa tidak ada yang rontok?” ujar Mbah Hamid saat itu.
Demikian juga ketika seorang komandan Banser memohon pertimbangan beliau untuk memecat anggotanya yang melakukan pelanggaran fatal, Mbah Hamid malah dawuh “harusnya seorang bapak akan membela anaknya meski senakal apapun”.
Ketika al-marhum Kiai Hafidz Karangpandan Pasuruan muda memohon pertimbangan untuk boyong dari pondok pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang karena KH. Mustain Romli mendukung Golkar (saat itu ulama yang mendukung Golkar dianggap berhianat), Mbah Hamid malah dawuh “saya titip Idris—KH. Idris Abdul Hamid—, mau saya pondokkan di Peterongan”.
Demikian sekelumit riwayat dari ribuan riwayat kearifan Mbah Hamid. Mbah Hamid adalah seorang wali yang jangkep karena dalam keseharian beliau, penerapan syari’at, thariqat, haqiqat dan ma’rifat berjalan selaras.
Saat ini kita seringkali dibingungkan oleh amaliah ulama –bahkan yang ditengarai seorang wali— karena fatwa dan perilakunya cenderung kurang seimbang. Ada sebagian ulama yang cenderung terlalu saklek sehingga Islam seakan nampak angker dan agresif.
Di lain sisi, ada juga sebaian ulama yang begitu moderat sehingga jika umat kurang cerdas dalam mengikuti fatwanya, akan terjebak dalam permisifme bersyariat, bahkan beraqidah. Dengan Mbah Hamid, umat dari kalangan mana pun bisa mencerna kemana arah serta maksud fatwa beliau.
Jangkep, karena selain selalu istiqomah mengasuh ratusan pengajian umum di berbagai tempat, beliau juga sibuk membangun masjid, mengasuh sendiri pesantren Salafiyyah, menghadiri undangan hajatan di berbagai pelosok, menerima tamu dari berbagai penjuru, serta berbagai agenda pelayanan umat lainnya.
Pada intinya, Mbah Hamid mendapat derajat yang dianugerahkan Allah adalah “karena” beliau seorang ‘abid yang zahid, al-arif billah, istiqomah, tawadlu’, faqih, al ‘allamah serta seimbang antara hablun min Allah dan hablun min annas. Memiliki kesalehan spiritual dan kesalehan sosial kata KH. Mustofa Bisri.
Ada yang berpendapat bahwa (insya Allah) wali abdal sebagaimana Mbah Hamid memang telah disembunyikan oleh Allah. Di tengah umat yang cenderung terlalu dalam segala hal seperti kita, keberadaan wali abdal bisa membahayakan aqidah karena fanatisme buta. Namun diam-diam, kita sebenarnya merindukan sosok seperti beliau yang bisa kita jadikan sandaran dalam kebingungan sejarah seperti sekarang.
Pada ahirnya, kita selalu berdoa semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala berkenan menganugerahkan panutan sebagaimana Mbah Hamid yang bahkan setelah “wafat” pun masih mengisi pengajian di Kalimantan, menyuwuk orang sakit, memagari Pasuruan dari bencana, menyuapi para PKL, melerai para politisi yang berkelahi serta kita sambati apa saja.
Ila hadrati Mbah Hamid, al Fatihah! (***).