Pasuruan (Kabarpas.com) – Beberapa bulan kemudian nenek jatuh sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit. Bahkan, semakin lama kondisi penyakit yang diderita nenek lebih parah dan tidak ujung sembuh.
Di sisi lain, ibuku sudah tak mampu untuk membiayai berobat nenek. Akhirnya, nenek pun di putuskan untuk dirawat di rumah. Dan karena penyakit nenek semakin parah, ibu juga sangat kebingungan bagaimana bisa mendapatkan uang untuk biaya berobat nenek.
Hingga Sang Khaliq akhirnya terlebih dulu memanggil nenek meninggalkan kami untuk selamanya. Dan isak tangis dari seluruh keluarga tentunya tak bisa mengembalikan nenek kembali ke dunia.
Selang 40 hari kepergian nenek, semua menjadi berubah. Ibu sudah tidak punya apa-apa lagi kecuali aku dan kak Rio. Semua harta benda habis terjual untuk biaya berobat nenek selama sakit.
Akhirnya, ibu terpaksa memutuskan untuk memberikan kak Rio pada istri tua bapakku untuk diasuh dan dibesarkan. Sedangkan aku dirawat oleh paman dan bibi di desa. Ini keputusan yang sangat berat buat ibu. Ibu akan pergi merantau ke Sumatra untuk bekerja.
Hidupku serba pas-pasan selama tinggal bersama paman dan bibi. Tapi aku selalu bersyukur pada Tuhan karena masih diberi orang-orang yang bisa menyayangiku sepenuh hati.
Paman dan bibi sangat menyayangiku seperti anak mereka sendiri. Mereka tidak membeda-bedakan aku dengan saudara sepupuku yang lain. Tapi terkadang salah seorang saudara sepupuku tidak begitu senang dengan kehadiranku. Sehingga apapun yang aku lakukan selalu salah. Dan mereka selalu mengadu yang tidak-tidak pada paman atau bibi.
Dua tahun sudah aku tinggal bersama paman dan bibi. Ibu belum pernah pulang atau mengirim surat untuk aku dan kak Rio. Suatu hari tetangga ku pulang dari Surabaya mengabarkan pada paman dan bibi bahwa kak Rio kesetrum listrik dan meninggal dunia dua hari yang lalu.
Mendegar kabar itu, aku pun langsung menangis sekencang-kencangnya dan bibi langsung memelukku erat. Keesokan harinya paman langsung ke Surabaya untuk memastikan kabar yang sebenarnya.
Sedangkan bibi hanya tinggal di rumah menemani aku dan anak-anaknya. Sepulang dari Surabaya wajah paman terlihat lesu, sedih sekali.
“Ndok, seng sabar ya…” ucap paman memelukku erat
“kak Rio benar-benar meninggal pak?” panggilku pada paman yang sudah kuanggap bapak sendiri
“Iya dia telah wafat. Tapi kamu tidak usah khawatir karena kami akan selalu menjaga dan menyayangimu,” ucap paman sembari meneteskan air mata
“ibu tidak di kabari tentang kak Rio?
“bapak dan ibu tidak tahu alamat pasti ibumu berada, kami cuma tahu ibumu bekerja di Sumatra”
Tangisku semakin menjadi-jadi. Berharap ibu ada disini. Rupanya perpisahan saat itu adalah perpisahan terakhirku dengan kak Rio. Kak Rio telah pergi menyusul nenek dan bapak.
Setengah tahun kemudian ibu pulang dari Sumatra. Ibu sangat kaget mendengar kabar bahwa kak Rio telah meninggal. Akhirnya, ibu langsung ke Surabaya untuk ziarah ke makam kak Rio, nenek, dan bapak.
Sepulang dari Surabaya hati ibu hancur, setiap hari menangis karena satu persatu orang yang ia cintai telah pergi. Setelah kesedihan ibu mulai berkurang, ibu langsung membeli sepetak tanah untuk di bangun rumah dekat rumah bibi.
Rumah pun selesai di bangun meski kecil tetapi aman untuk melindungi dari terik matahari dan dinginnya malam. Ibu meminta izin pada bibi untuk mengambilku tinggal bersama ibu lagi.
“mbak, aku minta izin untuk mengambil Rose supaya tinggal bersamaku lagi” ucap ibuku kepada bibi.
Namun, ternyata bibi tidak mengizinkan ibu mengambilku. Karena beliau sudah sayang padaku seperti anak-anaknya sendiri.
“bukannya aku tidak mengizinkan, Rah. Biarkan Rose tinggal di sini saja, toh rumahmu tidak jauh dari sini. Rose bisa kapan saja main ke sana. Aku juga tidak ingin memberatkan dirimu. Bekerjalah untuk dirimu sendiri, biar Rose aku yang membiayai segala kebutuhannya.”
Akhirnya dengan berat hati ibu membiarkan aku tinggal bersama bibi, toh kapan saja bisa menjengukku di rumah bibi.
Selang berapa lama ibu jatuh sakit dan membutuhkan biaya banyak untuk berobat. Akhirnya rumah yang baru di bangun itu harus di jual untuk biaya berobat ibu di Rumah Sakit. Segala macam obat telah diberikan tapi ibu tidak lekas sembuh.
Dan pada akhirnya Tuhan berkehendak lain, ibu harus menghadap pada-Nya. Ibu harus pergi selamanya meninggalkan aku sendiri. Hatiku hancur, rasanya aku ingin berteriak sekeras-kerasnya, menangis sekencang-kencangnya.
Di usia yang masih sangat belia aku harus di tinggalkan oleh seluruh keluargaku. Satu persatu keluargaku telah pergi. Bapak yang sedari kecil tak pernah kulihat wajahnya, nenek, kak Rio dan sekarang ibu juga telah meninggalkanku pergi untuk selamanya. Rasanya ku ingin memberontak pada Tuhan. Kenapa memberi aku cobaan seberat ini. Tapi apalah dayaku, tidak mungkin akau memarahi Tuhan. Semua ini terjadi memang atas kehendak-Nya.
Namun, ingin rasanya aku membedah langit, agar bisa mencari orang-orang yang aku sayangi, yang telah disembunyikan di balik lapisan langit. Di sana aku juga akan mencari sisa-sisa kebahagiaan untukku. Secerca harapan untukku bertahan hidup, menikmati pahitnya kehidupan dunia yang kejam. (sym).
Penulis : Ika Auza Riati