Oleh: Irmayunita Dewi Aulia, SE
KABARPAS.COM – UNTUK melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas di Indonesia dibutuhkan sebuah sistem demokrasi yang juga berkualitas, salah satu ciri dari pelaksanaan system demokrasi yakni dengan adanya pemilu. Pemilu merupakan proses transisi pergantian kekuasaan, dimana proses tersebut dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang merupakan penyelenggara dan memiliki sifat independent.
Rakyat yang memiliki kedaulatan tertinggi dalam menentukan pemimpin dan wakilnya dalam pemerintahan memiliki kebebasan dalam menyuarakan aspirasi politiknya melalui pemilu. Merujuk pada ketentuan dalam UUD 1945 pasal 22E bahwa pemilu DPR & DPRD pesertanya adalah partai politik dan untuk pemilu anggota DPD pesertanya adalah perseorangan, sehingga dalam hal ini partai politik memiliki kewenangan yang besar dalam merekrut dan menyiapkan kadernya untuk selanjutnya dipilih oleh rakyat melalui pemilu.
Berdasarkan ketentuan dalam UUD tersebut, maka partai politik memiliki posisi yang sangat strategis dalam menyiapkan dan menentukan kualitas dan integritas para anggotanya sebelum diterjunkan dalam kontestasi pemilu. Tentunya setiap parpol berlomba-lomba merekrut anggota melalui cara yang terbaik seperti menerapkan meritokrasi system, sehingga kualitas rekruitmen dan seleksi para anggota partai politik akan berpengaruh terhadap kualitas calon yang akan bersaing di setiap momentum pemilu.
Pasca KPU mengumumkan 18 parpol yang lolos dan berkontestasi diajang 5 tahunan 2024, mulai dari detik itu juga genderang kompetisi mulai ditabuh. Banyak parpol maupun elit parpol bergerak dengan strategis dan massif dalam mengkonsolidasikan kekuatan, dengan aktif berkomunikasi kepada konstituen maupun aktif berinteraksi melalui media online yang strategis.
Tentu Gerakan para elit parpol ini membuka peluang dan harapan agar pemilu 2024 menghasilkan wakil rakyat yang berkualitas dan paham akan permasalahan masyarakat. Tentunya gegap gempita pemilu electoral ini harus diimbangi dengan komitmen dan kesadaran semua pihak yang berkepentingan dengan pemilu 2024 agar tetap menjaga kualitas pemilu yang baik dan professional.
Fragmentasi kekuatan politik dalam memperebutkan kekuasaan kerap kali menghadirkan kondisi dan suasana yang terkadang berimpact terlalu dinamis dalam kehidupan masyarakat. Intervensi pemangku kepentingan ditambah factor politik uang yang massif membuat mekanisme demokrasi tidak berjalan dengan baik dan berkualitas.
Pemilu seyogianya tidak serta merta melahirkan hingar bingar pemimpin baru ataupun wakil rakyat baru, tetapi harus menjadi momentum terlahirnya pemilih yang rasional dan terdidik, artinya pemilih yang tampil kritis mengedepankan gagasan dan wawasan bukan mengedepankan BERANG (Beras & Uang).
Psikologis masyarakat pada umumnya melihat para kontestan pemilu memberikan sembako & uang kepada pemilih menjadikan sesuatu yang lumrah dan biasa saja, bahkan tokoh masyarakat di pedesaan terkadang juga melibatkan diri dalam praktik politik uang.
Kontestan pemilu ataupun oknum anggota partai politik merupakan actor intelektual yang memicu terjadinya kecurangan praktik politik uang tersebut, dan tidak mungkin masyarakat melakukan pelanggaran pemilu kalua tidak diinisiasi oleh peserta pemilu itu sendiri. Kondisi ini menjadi pertanda bahwa para peserta pemilu tersebut kurang percaya diri akan kemampuan kualitas diri mereka sendiri dalam mengkomunikasikan kepada masyarakat, sehingga mereke memilih praktik politik uang sebagai jalan keluar yang ampuh dalam memenangkan kontestasi.
Komitmen parpol sebagai peserta pemilu yang memberikan Pendidikan politik kepada masyarakat harus diimplementasikan secara kaffah dalam taat dan patuh terhadap aturan main yang telah ditetapkan oleh penyelenggara, sehingga para calon anggota legislative yang disodorkan oleh parpol mampu bertanding secara fair sesuai aturan main.
Artinya para peserta pemilu mampu meminimalisir pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dan menunjukkan komitmen integritasnya, sehingga kontestasi ini murni kontestasi gagasan, kontestasi program serta kontestasi rekam kinerja yang membuat masyarakat dalam hal ini konstituen semakin dewasa dan semakin matang dalam berpolitik. Merujuk pada pemilu 2019 kemarin, Bawaslu RI melaporkan keberadaan 138 pemantau local & asing yang tercatat terbanyak dalam sejarah pemilu di Indonesia. Hal tersebut nampaknya belum mampu mengawasi & mencegah terjadinya praktik politik uang, kendala yang dihadapi oleh pengawas tentunya sangat klise yakni masyarakat enggan melaporkan dan menjadi saksi adanya transaksi politik uang, sehingga praktik ini tumbuh subur bahkan menjadi lebaran {Mendapat Angpao} bagi Sebagian masyarakat setiap pagelaran pemilu.
Hal ini tentunya menjadi PR bagi semua stakeholder (Pemerintah, KPU, Bawaslu, Parpol} dalam memberikan Pendidikan dan meningkatkan kesadaran masyarakat, bahwa jika menginginkan pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas maka harus meninggalkan praktik kecurangan, praktik politik uang, praktik propaganda Black Campagn, penyebaran berita hoax, intimidasi kepada pemilih dan sebagainya.
Pemilu yang berkualitas merupakan sarana untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, tentunya pemerintahan yang baik dapat dijalankan pleh pemimpin yang berkulitas melalui proses yang juga berkualitas.
Merujuk pada pendapat Suswantoro dalam bukunya yang berjudul Pengawasan Pemilu Partisipatif (2015:8-9) bahwasannya pemilu yang demokratis (democratic electoral) dapat diwujudkan apabila terdapat integritas dalam proses penyelenggaraan pemilu dan integritas hasil pemilu.
Oleh karena itu sudah semestinya kita sebagai civil society aktif bergerak memastikan sendi-sendi integritas itu ada dalam setiap tahapan pemilu baik yang dilakukan oleh penyelenggara maupun yang dilakukan oleh peserta pemilu, sehingga output dari pemilu itu sendiri melahirkan pemimpin yang berintegritas serta berkualitas dan bisa dijadikan sandaran oleh khalayak masyarakat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. (***).