Oleh : Mohammad Jafar Loilatu
(Alumni Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang dan Direktur Madzhab Dajeng, Center for Multicultural Studies and Social Science)
Editor : Memey Mega
Diksi diatas diambil dari karya besar Robert W. Hefner melalui Ford Foundation 1998-2000 dengan judul “Southeast, Singapore, and Indonesia”. Karya ini diterbitkan dengan tujuan agar kaum intelktual merenungkan tentang pluralisme, etnis, religius dan gender bagi masyarakat dalam suatu bangsa.
Politik multikulturalisme dalam karya besar ini meninjau tiga negara di Asia: Malaysia, Singapura dan Indonesia, melihat perkembangan entitas paska kolinialisai negara-negara Eropa.
Sejarah mencatat ketidak adilan karena padangan minoritas yang digunakan oleh Eropa terhadap tiga negara Asia Tenggara dan melarang mengecap buah pluratias kultural pada ketiga negara tersebut. Karya tersebut menjelsakan tarnsisi masyarakat dari tiga negara teresbut, penggelan didalamnya mengulas Indoensai dari satu sisi, dengan melihat perkembang politik, budaya, etnis, urbanisasi, gender dan agama.
Tulisan ini lebih implisit melihat dari satu objek, mecintrakan entitas makro suatu negara paska kolonialisasi dan imprealisasi, sejarah kolonialisasi tidak mewariskan budaya baik dalam social relation. Bahkan imprelisme dilawan civil society dengan rasa kecintaan terhadap indoneisa (hubul wathan), bahas sosiologisnya adalah cauvinisme.
Cauvinisme membawa kekuatan kultural makro yang hadir dari kultural mikro, sehingga kolonialisasi dapat dilawan dengan basis kekuatan makro yang plural.
Memandang Indonesia saat ini adalah cerminan Indonesai yang plural pada zamanya, Indonesai yang tumbuh dari pemikran atunggal dan dibawah pada polis, yang di godok sebelumnya pada oikos, sehingga ia lahir sebagai satu entitas makro yang didebatkan secara akademik dengan bahasa Pancasila yang tunggal tetapi ia etnoreligius dan etnogeografis, ia inklusif tidak ekslusif, ia hidup sebagai masyarakat majemuk dengan melihat budaya sebagai sebuah nilai yang harus dihargai.
Tetapi saat ini masyarakat melihat entitas-entitas makro tersebut tidak berada pada porosnya, yang dipandang berlawanan arah sehingga ia menjadi problem, nilai tersebut juga didebatkan bukan pada porosnya sehingga prespsi tentang etnoreligius dan etnogeografis sebagai masyrakat yang plural itu hilang dan bukan menjadi suatu yang baik.
Perkembangan politik diwarnai dengan satu agenda yang tersembunyi (hidden agenda) yang besar, perebutan kekuasan terbatas menjadi sebuah prioritas utama. Tahun 2015 dan 2017 dilewatkan dengan Pilkada serentak gelombang pertama dan kedua, kemudian menyusul Pilkada gelombang ketiga tahun 2018 dan akan memasuki Pemilu serentak tahun 2019. Apa catatan budaya baik yang kita warsikan dari transisi kekuasaan ini? Penulis tidak mengatakan tidak ada, melainkan hanya sebagian saja sebagai sesuatu yang sifatnya prosedural dan teknis.
Mengapa demikian? karena setiap transisi kekuasaan memastikan suatu golongan tersudutkan baik itu agamanya, budayanya dan ekonominya dengan begitu civil society menjadi pasif.
Politik multikulturalisme yang penulis lihat adalah yang hidup dari tarnsisi zaman koloniaalisasi dan imprelisasi, ia tidak lagi milenia sebagaimana zamanya sekarang, karena ia telah mengarungi lautan dengan gelombang dan pasangnya, dan sampai sebagai satu identitas yang makro. Kemudian muncul suara lama yang didengungkan, politik identitas yang lahir atas nama agama, atas nama kedaerahan yang pada tahunya diterima dan menjadi sebuah pluralisme makro, tetapi kini ia hadir sebagai satu identitas yang memnimbulkan segregasi.
Hidden agenda lahir dari hidden power (Jhon Gaventa) melauli interest gorup baik itu kelompok elit, akademisi, dan kelompok kepentingan lainya. Kelompok-kelompok ini memunculkan “permasalahan” sehingga menimbulkan kekacauan yang terjadi di daerah (politik lokal) dan nasional (politik nasional).
Konflik, ujaran kebencian, pelarangan beribadah adalah sedikit yang di agendakan sehingga kondisi politik tidak teratur. Imbasnya, masyarakat menjadi satu objek yang pasif, dan menerima dengan mudah agenda kelompok kepentingan sehingga menjadi bagian dari konflik serta ketidak teraturan politik.
Politik multikulturalisme (Robert W. Hefner) adalah untuk menggugat realitas kebangsaan “Indonesia” saat ini tentunya, sebab kita sedang melakukan penjajahan atas negara kita, Indonesia sendiri. Karena realitas itu tidak dilihat kembali, sebagaimana melihat Pancasila scara historisitas yang dirmuskan atas dasar entitas-entitas yang harus diterima, jika meniadakan itu maka tidak ada satu pluralisme makro atas nama “Indonesia” yang diperjuangakan hingga saat ini berusia 72 tahun. Maka politik lokal dan nasional harus dibarengi dengan penerimaan dan peniadaan sikap penolakan atas entitas lain. Dengan menggali lapis demi lapis sejarah perjuangan bangsa kita, bahwa yang diwariskan bukan satu ketakutan atas ragam yang berbeda atau politik ketakutan (politics of fear), melainkan politik harapan (politics of hope) karena Indonesai berdiri diatas tiang harapan; merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Jika harapan itu hilang maka kita kan kehilangan identitas-indentias tersebut sebagai sebuah bangsa.
Tradisi demokrasi kita tidak berupaya untuk menggaung perpecahan-perpecahan lama yang mewariskan luka sejarah, saat ini kita sudah berdamai dengan sejarah kelam tersebut.
Sebagaimana tujuan karya besar “Politik Multikulturalime” ini diterbitakan, agar kaum inteletual merenungkan pluralitas-pluralitas tersbut, hasil renungan itu digunakan sebagai (politics of hope) bahwa tidak ada hate speech antara kelompok dengan kelompok lain.
Menghadapi tranisisi kekuasaan tampa menggunakan cara-cara kekerasan sebagai jalan keluar, demokrasi harus dimaknai sebagai perebutan kekuasaan yang baik. Kaum intelektual tidak meletakan posisi yang menguntungkan bagi kelompok lain dan juga tidak bersifat pasif, ia seharusnya hadir sebagai satu resolusi atas permasalahan yang ada melalui renungan akademisnya.