Oleh: Irmayunita Dewi Aulia, SE
KABARPAS.COM - DALAM dunia percaturan politik, kaum perempuan acap kali hanya dijadikan sebagai pelengkap dalam berbagai momentum bahkan hanya dijadikan sebagai obyek. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan yang mendalam karena berdasarkan data dari KPU, jumlah pemilih perempuan di Indonesia mencapai lebih dari 96 juta orang atau sekitar 51% dari total jumlah pemilih, artinya dengan jumlah yang signifikan tersebut seharusnya ada keseimbangan keterlibatan perempuan dalam dunia politik baik sebagai peserta pemilu melalui daftar calon legislative maupun sebagai penyelengara pemilu dalam KPU maupun BAWASLU dari tingkat pusat hingga daerah. Persamaan hak dan partisipasi politik kaum perempuan harus dijadikan semangat bahwa antusias dan semangat kaum perempuan dalam dunia politik bisa menjadi sebuah Gerakan yang sangat dahsyat. Banyak anggapan kaum perempuan memiliki sifat feminim yang berarti kelembutan dan kesabaran sehingga kurang layak terjun dan aktif dalam dunia politik yang cenderung dinamis bahkan keras, sehingga menyebabkan ketidakpuasan dalam ketermarginalan gender dalam setiap momentum politik.
Partispasi perempuan di dalam dunia politik terkendala oleh tanggung jawab mereka dalam ruman tangga dan pandangan masyarakat bahwa perempuan tidak lebih mampu dari laki-laki dalam memimpin sehingga menyebabkan kehadiran perempuan di kancah politik dipandang sebelah mata bahkan oleh kaum perempuan sendiri. Keterwakilan perempuan dalam dunia politik merupakan urgensi yang harus kita dorong keterlibatannya. Keterlibatan Perempuan dalam kontestasi politik maupun sebagai penyelenggara pemilu sangat jauh dari kata cukup terwakili. Bahkan di setiap momen politik ada istilah perpanjangan masa pendaftaran karena belum memenuhi kuota keterwakilan perempuan.
Disinilah peran kita sebagai perempuan agar lebih partisipatif dalam setiap momen politik karena kesejahteraan masyarakat diawali dari iklim politik yang baik melalui peran kita perempuan. Negara juga harus hadir melalui kebijakan dengan memberikan porsi yang seimbang kepada perempuan untuk mendorong keterlibatannya dalam pasar politik Nasional maupun lokal baik itu sebagai aktor politik maupun profesionalisme sebagai penyelenggara pemilu.
Kebijakan Negara terhadap perempuan dalam bidang politik dimulai dengan disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Peningkatan keterwakilan perempuan berusaha dilakukan dengan cara memberikan ketentuan agar partai politik peserta Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan:
”Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Artinya dari UU ini negara mendorong perwujudan kesamaan hak perempuan dalam politik & kesempatan dalam menduduki kekuasaan birokrasi.
Dilain hal dalam dunia penyelenggara pemilu juga mendorong keterlibatan perempuan yakni dimulai dengan disahkannya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%. Pasal 6 ayat (5) UU tersebut menyatakan bahwa ‟Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.
Secara formal, optimalisasi keterlibatan perempuan dalam dunia politik sudah diatur dengan baik. Namun dalam praktiknya, perempuan terbentur sekat-sekat tipis dalam keterlibatannya secara politik yang disebabkan oleh Anggapan-anggapan subjektif perihal pengalaman dalam dunia politik.
Oleh karena itu, perempuan harus didorong untuk mendapatkan posisi dibidang politik baik di wilayah legislative maupun sebagai penyelenggara pemilu melalui pengadaan pelatihan kepemiluan dan penguatan keterampilan perempuan itu sendiri. Selain itu upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan perempuan dalam bidang kepemiluan juga dapat didukung dari keterlibatan pada penyelenggaraan pemilu. Pengalaman untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemilu di level terkecil seperti PPS, PPK, KPUD bisa menjadi wasilah bagi kaum perempuan untuk turut berkonstribusi dalam perpolitikan di Indonesia.
Eksistensi perempuan dalam dunia politik maupun penyelenggara pemilu memang harus dikawal dengan baik mengingat masih ada beberapa kalangan yang berpandangan bahwa perempuan bukan makhluk yang otonom dalam mengambil keputusan sehingga membuat banyak kalangan ragu akan kemampuan perempuan dalam menduduki posisi-posisi strategis dalam dunia pemerintahan maupun dunia penyelenggara. Sebagai warga negara, laki-laki dan perempuan memiliki porsi dan kesempatan yang setara dalam dunia pemerintahan dan penyelenggara kepemiluan, sehingga tidak ada lagi dikotomi gender dalam distribusi peran.
Hal yang perlu difokuskan dalam distribusi peran perempuan dalam dunia politik ini yakni tingkat input kualitas dan kuantitas perempuan dalam mempengaruhi kebijakan yang berujung pada peningkatan kualitas hidup perempuan itu sendiri, sehingga para kaum perempuan sebelum terjun di dunia politik kepemiluan untuk terlebih dahulu didorong untuk aktif dan partisipatif di setiap kegiatan maupun pelatihan dalam rangka meningkatkan kapasitas pengetahuan serta soft skil tentang pemerintahan, pendidikan politik maupun kepemiluan. Penyelenggara pemilu memiliki peran yang strategis misalnya dalam sosialisasi, menindak pelanggaran pemilu dan pendidikan pemilih.
Hadirnya keberadaan perempuan dalam penyelenggara pemilu dapat melakukan pengawalan terhadap suara perempuan itu sendiri serta bisa memberikan kontribusi yang besar agar perempuan bisa memainkan perannya pada keikutsertaan perempuan dalam pemilu baik sebagai peserta pemilu (eksekutive, Legislative) maupun sebagai penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu). Tentu kondisi semacam ini bisa mendorong partisipasi politik perempuan dalam meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia serta mampu memberikan balance gender dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (***).