Oleh: Dina Auliya Febianti/Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
KABARPAS.COM – PAJAK merupakan sumber utama penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Untuk melaksanakan pembangunan negara dibutuhkan dana yang cukup besar, yang diambil dan ditopang melalui penerimaan pajak.
Oleh karena itu, pajak sangat dominan dalam menopang pembangunan nasional. Mayoritas pendapatan negara pada tahun 2022 berasal dari penerimaan pajak, yakni Rp1.716,8 triliun (65,37%) yang jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya nilainya meningkat 34,3%.
Keterlibatan masyarakat dalam membayar pajak merupakan usaha pembelaan negara untuk memberikan kontribusi secara tidak langsung demi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan bangsa.
Selain itu, pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta warga negara sebagai Wajib Pajak (WP) untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan bagi pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Tanggung jawab atas pemenuhan kewajiban pembayaran pajak, sebagai cerminan kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri.
Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam sistem perpajakan di Indonesia. Namun faktanya sistem yang memberi kepercayaan dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk berinisiatif tidak begitu berhasil.
Kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak (WP) masih sangat rendah yang dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya pengetahuan tentang pajak dan persepsi terhadap petugas pajak.
Tingkat pengetahuan sebagian masyarakat tentang pajak masih rendah. Begitu pula halnya persepsi masyarakat terhadap petugas pajak yang banyak tidaknya kurang baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan tingkat kesadaran membayar pajak yang masih rendah.
Dari total penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta lebih, diperkirakan hanya 14 juta penduduk yang menjadi wajib pajak (WP). Dari 14 juta penduduk ini pun 70 persen di antaranya merupakan wajib pajak badan bukan perseorangan.
(Mahasiswa universitas Muhammadiyah Sidoarjo penulis opini)
Berkaitan dengan persepsi masyarakat terhadap petugas pajak yang kurang baik, maka munculnya kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo seorang anak dari salah satu pejabat tinggi Direktorat Jenderal Pajak yaitu Rafael Alun Trisambodo akan semakin membuat citra Direktorat Jenderal Pajak semakin terpuruk di mata publik.
Pemeriksaan terhadap Rafael Alun Trisambodo dilakukan usai kasus penganiayaan oleh anaknya, Mario Dandy Satriyo kepada Christalino David Ozora.
Rafael Alun Trisambodo terbukti dan ditetapkan menjadi tersangka kasus gratifikasi karena disebut telah menerima gratifikasi salah satunya berupa uang senilai 90.000 dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 10 Mei 2023 Rafael juga ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang atau TPPU oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK).
“Benar, KPK saat ini telah kembali menetapkan RAT sebagai Tersangka dugaan TPPU,” kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Rabu (10/5).
Rafael diduga melakukan pencucian uang dengan menyamarkan hingga menyembunyikan aset yang didapatkan dari tindak pidana korupsi. Akibatnya, kasus yang diduga juga melibatkan pejabat Direktorat Jendral Pajak (DJP), Kementerian Keuangan lainnya ini ditanggapi beragam oleh masyarakat.
Berbagai tanggapan tersebut pada intinya adalah merefleksikan kekecewaan, keprihatinan, sekaligus kemarahan. Salah satu tanggapan masyarakat menegaskan ‘Mengapa pejabat pajak bebas tidak membayar pajak, sementara kami dikejar-kejar petugas pajak’.
Hal ini sudah jelas menunjukkan jika polemik Dirjen Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang tengah terjadi telah mempengaruhi kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak (WP).
Turunnya kepercayaan publik, berdampak pada ketidakrelaan dalam membayar pajak. Buntut dari kasus Rafael Alun Trisambodo kini memunculkan protes anti bayar pajak, khususnya di kanal media sosial.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin mengimbau agar masyarakat tidak anti membayar pajak akibat kasus yang menerpa pejabat Ditjen Pajak tersebut.
“Saya kira tidak tepatlah, kalau kemudian hal yang seperti itu, menjadi isu dan kemudian timbul ketidakpercayaan (membayar) pajak,” tegas Wapres saat memberikan keterangan pers di Alila Hotel Solo, Jl. Slamet Riyadi No. 562, Jajar, Kec. Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (01/03) lalu.
Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin menjelaskan lebih lanjut jika Kemenkeu saat ini telah melakukan berbagai perbaikan sistem perpajakan bahkan melalui digitalisasi.
Meskipun di dalamnya masih terdapat kasus, tutur Wapres, hal tersebut tidak boleh menjadi alasan masyarakat tidak membayar pajak. Menurutnya, apa yang terjadi di Ditjen Pajak saat ini mungkin juga terjadi di tempat lain.
Masyarakat mestinya dapat membedakan antara kesadaran membayar pajak dan kasus Rafael Alun Trisambodo. Membayar pajak merupakan kewajiban secara hukum karena pajak merupakan salah satu bentuk kontribusi masyarakat dalam pembiayaan program pemerintah.
Sementara itu, dari sisi Ditjen Pajak, seusai kasus Rafael Alun Trisambodo, beban yang diembannya akan semakin berat. Bukan hanya beban untuk memenuhi target penerimaan negara dari perpajakan, namun juga beban memperbaiki citranya di mata publik yang kini tengah hancur.
Setidak-tidaknya terdapat lima bagian dalam struktur jabatan Ditjen Pajak yang sangat rawan dirongrong aksi suap-menyuap petugas dengan wajib pajak, yaitu Bagian Pemeriksaan, Account Representative, Penagihan, Keberatan, dan Banding.
Kelima bagian inilah yang harus mendapatkan prioritas untuk diperbaiki agar citra Ditjen Pajak pulih kembali sehingga dapat membangun kepercayaan publik. (***).
——————————————-
*Penulis : Dina Auliya Febianti / NIM 202020100032
(Mahasiswa Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo).