Probolinggo, Kabarpas.com – Saat ini pupuk bersubsidi semakin berkurang dan semakin dikurangi oleh pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) RI. Kuota, jenis maupun komoditas yang diberikan pupuk bersubsidi terbatas sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian.
Dalam Permentan Nomor 10 Tahun 2022 ini mengatur penyaluran pupuk bersubsidi diprioritaskan pada 9 komoditas utama meliputi padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, kopi, tebu dan kakao dengan luas kepemilikan lahan maksimal 2 hektar per petani. Sebelumnya komoditas yang disubsidi berjumlah lebih dari 60 jenis. Begitu pula perubahan pada jumlah jenis pupuk bersubsidi yang semula terdapat 6 jenis pupuk berubah menjadi 2 jenis pupuk saja yaitu Urea dan NPK.
Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Probolinggo melalui Dinas Pertanian (Diperta) melakukan langkah-langkah untuk menyikapi hal tersebut dengan penggunaan pupuk-pupuk alternatif antara lain dengan pupuk organik.
“Ini akan kami gerakkan secara massif seluruh PPL yang membina kelompok tani untuk mengajari lagi kelompok tani membuat pupuk organik sebagai pupuk alternatif dengan bahan yang ada di desanya dan spesifik lokasinya sudah ada. Mulai dari kotoran binatang dan tumbuhan menjadi kompos,” kata Kepala Diperta Kabupaten Probolinggo Mahbub Zunaidi.
Menurut Mahbub, sebenarnya pemerintah sudah dari dulu mengajari pembuatan pupuk organik dan pupuk bokhasi baik padat maupun cair untuk pembuatan pestisida nabati.
“Tetapi petani itu biasanya mau simple dan instan dengan memakai pupuk kimia. Dengan situasi ini sehingga subsidi pupuk semakin dikurangi. Sekarang akhirnya petani pikirannya pupuk langka dan mahal. Padahal pupuk itu tersedia cukup hanya saja yang disubsidi memang dikurangi. Dianggap langka karena pupuk bersubsidi terbatas,” jelasnya.
Mahbub menjelaskan rata-rata pemakaian pupuk bersubsidi jenis urea itu dosisnya 200 kg per hektar. Sementara petani aplikasinya sampai 400 kg per hektar. Memang tumbuhan kalau dikasih urea itu bagus. Tetapi kalau terlalu berlebihan jangka panjangnya akan berpengaruh kepada kesuburan tanah.
“Dosis 200 kg itu jatah subsidi kalau menurut teknologi 250 kg untuk dosis aplikasi per hektar. Harapan dari pemerintah dikurangi sedikit demi sedikit agar petani mempunyai inovasi memakai pupuk alternatif menggantikan pupuk kimia untuk menyuburkan tanaman,” terangnya.
Selain itu jelas Mahbub, ke depan pihaknya juga akan mengajari petani dalam pembuatan biosaka. Dimana bahannya itu berasal dari rumput-rumput yang sehat minimal 5 jenis di sekitar sawah tersebut.
“Rumput yang sehat itu ciri-cirinya tidak berlubang karena hama, tidak jamuran karena hanya penyakit dan harus cerah warnanya. Selanjutnya rumput sehat 5 jenis ini diremas-remas. Namun sebelum itu airnya diukur phnya. Tetapi ini bukan pupuk maupun pestisida, namun elisitor,” tegasnya.
Mahbub menerangkan rumput sehat tersebut diremas-remas untuk memicu supaya saat diaplikasikan ke tanaman agar penyerahan tanaman untuk unsur hara lebih efektif sehingga banyak yang terserap. Sehingga pemupukan bisa lebih efisien dan pemakaian pupuknya sampai 50 persen. Hal ini sudah didengung-dengungkan dimana-mana.
“Saat ini pemerintah selalu disambati tentang kelangkaan pupuk dan pupuknya sulit. Padahal pupuknya tersedia cukup, hanya untuk yang bersubsidi terbatas. Semoga ke depan petani bisa membuat pupuk organik sebagai pupuk alternatif,” pungkasnya. (len/ian).